Pemimpindan Kepemimpinan Masa Depan
Oleh : Fauzani Ilham
Seorang pemimpin kreatif dan inovatif selalu berpikir bahwa belum ada karya yang terbaik, alasannya ialah yang terbaik belum dilahirkan, yang terbaik akan diciptakan di masa depan, alasannya ialah itu ia selalu terobsesi untuk selalu memperbaiki karya-karyanya.
Menjelang Pemilu Presiden dan Wapres 2009, belakangan ini marak bermunculan anak bangsa yang memproklamirkan diri untuk menjadi pemimpin nasional masa depan. Ada yang terang-terangan mencalonkan diri lewat partai politk, ada yang melaksanakan komunikasi politik untuk minta restu, ada yang gencar menampilkan dirinya lewat media massa, ada yang berdebat lewat "the candidate", ada yang mencetuskan konvensi ibarat konvensi partai Golkar 2004, bahkan ada pula yang berani mengikrarkan diri melalui jalur independen.
Dalam periode demokrasi ketika ini, hal itu sah-sah saja dilakukan, sepanjang pencalonan, proklamir, ikrar dan perdebatan perkara pemimpin itu benar-benar bagi upaya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara. Selama sepuluh tahun reformasi bergulir, para pemimpin sudah mulai dipilih oleh rakyat melalui Pilkada baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi maupun tingkat nasional. Segala cara dilakukan semoga tujuan untuk menjadi pemimpin itu tercapai, sehingga tak heran kalau konflik horizontal terjadi di daerah, gara-gara penetapan pemimpin. Tapi apa yang kita lihat, sehabis menjadi pemimpin tak banyak perubahan konkret yang diperlukan oleh masyarakat. Bahkan ironisnya, kekacauan, konflik dan bencana di tempat seakan tak ada pemimpinnya.
Saya memandang siapa pun yang menjadi pemimpin nanti, tetap tak banyak perubahan fundamental yang bisa didapatkan dari hasil kepemimpinannya. Kehidupan perekonomian keluarga tetap harus ditopang secara sendiri dan berdikari dengan banyak sekali upaya untuk meraihnya, kecuali bagi pegawai atau karyawan yang mendapatkan gaji, mungkin ada peningkatan penghasilan setiap tahunnya. Namun, untuk masyarakat miskin tetap saja miskin, meskipun banyak sekali kekurangan dalam mengatasi banyak sekali dilema keluarga ada dispensasi biaya untuk itu.
Berbicara wacana pemimpin dan kepemimpinan masa depan akrab kaitannya dengan kualitas sumber daya insan yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini, masih membutuhkan pemimpin yang besar lengan berkuasa di banyak sekali sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Ini selaras dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan nasional sebagai sebuah sistem dalam arti statik maupun arti dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan komponen bangsa secara hierrarkial (state leadership, political and entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan acara kepemimpinan yang berporos dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan jadinya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan pribadi/kelompok, bukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula kepemimpinan yang membiarkan hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan budaya korupsi, kongkalikong dan nepotisme. Kita butuh, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, serta memahami abjad dan kultur bangsa Indonesia.
Dalam periode reformasi ketika ini, pemimpin kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia masih sangat dibutuhkan, melalui pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dasar negara, yaitu Pancasila yang bersifat integratif. Oleh alasannya ialah itu, para pemimpin dan kader kepemimpinan masa depan harus merupakan bab integral dari kepemimpinan nasional integratif, yang mempunyai kriteria pokok, yaitu: Pertama, terciptanya interaksi atau keterpaduan yang serasi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Kedua, mempunyai ciri, sifat, prinsip, teknik, azas serta gaya dan jenis kepemimpinan yang handal, ibarat Sebelas Azas Kepemimpinan TNI. Ketiga, mempunyai seni administrasi kepemimpinan nasional yang tepat, sesuai situasi dan kondisi, serta kurun waktu yang dihadapi.
Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus mempunyai contoh pikir, contoh perilaku dan contoh tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan ialah seorang pemimpin yang diperlukan bisa mengubah kondisi ketika ini melalui proses untuk membuat kondisi yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan mewujudkan harapan nasional. Pemimpin akan sanggup melaksanakan fungsi kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta sanggup diandalkan. Seorang pemimpin harus mempunyai reputasi yang baik, memperlihatkan kinerja yang diakui, terutama dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan keberhasilannya mengatasi masalah-masalah yang kritikal dan membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan pribadi oleh masyarakat.
Pemimpin dalam konteks kepentingan negara dan bangsa bagi penyelenggaraan negara haruslah mempunyai nilai-nilai sebagai seorang negarawan, artinya warga negara yang mau dan bisa mengambil perilaku dan keputusan, demi kepentingan bangsa dan negara. Nilai-nilai kenegarawan itu tidak hanya dimiliki oleh seorang Kepala Negara, pejabat pemerintahan dan birokrasi/pejabat publik semata, tetapi harus dimiliki oleh setiap pribadi warga negara dan setiap elemen kemasyarakatan baik pengusaha, budayawan, pemimpin umat keagamaan, pemimpin kemasyarakatan, cendekiawan, olahragawan dan kaum muda ibarat para mahasiswa. Dalam konteks inilah bergotong-royong konsep "think globally dan act locally" (berpikir secara global dan bertindak secara lokal) ini sanggup diimplementasikan dalam menghadapi tantangan periode globalisasi ketika ini.
Oleh karenanya, pemimpin masa depan diperlukan bisa memahami visi Indonesia 2020 dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan higienis dalam penyelenggaraan negara dan melaksanakan sistem penyelenggaraan negara secara baik dan benar semoga kesejahteraan masyarakat sesuai harapan nasional dan tujuan nasional sanggup benar-benar diwujudkan, sehingga kepemimpinannya, sejalan dengan visi yang telah digariskan pemerintah, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh insan Indonesia yang sehat, mandiri, beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran aturan dan lingkungan, mempunyai pengetahuan dan teknologi, mempunyai semangat dan etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.
Itulah kiprah yang harus dilaksanakan pemimpin dan kepemimpinan masa depan di periode reformasi ini dalam mewujudkan terciptanya ketahanan dan stabilitas nasional dalam rangka mencapai harapan dan tujuan nasional. Oleh alasannya ialah itu, melihat selektivitas para calon pemimpin yang disodorkan media ketika ini, ibarat SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengkubuwono-X, Abdurrrahman Wahid, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso, Soetrisno Bachir, Rizal Ramli, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen, Yusuf Kalla, Fajroel Rachman, Rizal Malarangeng, dan lainnya, rasanya sosok pemimpin yang diperlukan masyarakat masih belum ada yang terbaik, dan bisa membawa perubahan. Kecuali masyarakat masih mempercayakan kepada pasangan SBY-JK dalam memimpin bangsa ini untuk kedua kalinya.
Mengapa ini saya utarakan? Karena pemimpin muda tidak menjamin kesejahteraan rakyat, pemimpin tegas juga tidak berjanji bisa menuntaskan perkara bangsa yang demikian kompleks. Yang masih dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini ialah pemimpin yang membawa kesejukan, pemimpin yang cakap, pemimpin yang arif dan pemimpin yang bijaksana dalam berpikir, bersikap dan bertindak untuk lebih menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat/rakyatnya, serta memajukan bangsa dan negaranya. Saya berpandangan, bertubi-tubinya perkara petaka beberapa tahun belakangan ini, mengakibatkan satu periode 2004-2009 bagi pemimpin dan kepemimpinan SBY-JK tidak berjalan secara optimal. Sepertinya kita perlu memperlihatkan satu periode 2009-2014 lagi untuk pemimpin dan kepemimpinan masa depan ini kepada pasangan SBY-JK, sehingga perubahan yang diimpikan dan diperlukan masyarakat/rakyat akan semakin nyata.
Kita butuh pemimpin yang memberi suri teladan ibarat kepemimpinan Nabi Besar Muhammad S.A.W yaitu Siddiq, jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan; Fathonah, cerdas, mempunyai intelektualitas tinggi dan profesional; Amanah, sanggup dipercaya, mempunyai legitimasi dan akuntabel; dan Tabligh, senantiasa memberikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.
Kita perlu pemimpin yang mempunyai kepemimpinan ibarat Hasta Brata, dan mempunyai sifat-sifat dinamis, berwibawa, berkonsultasi, bekerja sama, dan mandiri. Selama periode 2004-2009 kini ini, itu sudah tercermin pada kepemimpinan SBY-JK untuk mewujudkan Indonesia yang Adam (Aman dan Damai), Adem (Adil dan Demokrasi), dan Bahtera (Tambah Sejahtera) yang dikenal dengan istilah absurd Peace, Justice, Democracy dan Prosperity, serta mewujudkan Good Governance dan Clean Government.
Menjelang Pemilu Presiden dan Wapres 2009, belakangan ini marak bermunculan anak bangsa yang memproklamirkan diri untuk menjadi pemimpin nasional masa depan. Ada yang terang-terangan mencalonkan diri lewat partai politk, ada yang melaksanakan komunikasi politik untuk minta restu, ada yang gencar menampilkan dirinya lewat media massa, ada yang berdebat lewat "the candidate", ada yang mencetuskan konvensi ibarat konvensi partai Golkar 2004, bahkan ada pula yang berani mengikrarkan diri melalui jalur independen.
Dalam periode demokrasi ketika ini, hal itu sah-sah saja dilakukan, sepanjang pencalonan, proklamir, ikrar dan perdebatan perkara pemimpin itu benar-benar bagi upaya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara. Selama sepuluh tahun reformasi bergulir, para pemimpin sudah mulai dipilih oleh rakyat melalui Pilkada baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi maupun tingkat nasional. Segala cara dilakukan semoga tujuan untuk menjadi pemimpin itu tercapai, sehingga tak heran kalau konflik horizontal terjadi di daerah, gara-gara penetapan pemimpin. Tapi apa yang kita lihat, sehabis menjadi pemimpin tak banyak perubahan konkret yang diperlukan oleh masyarakat. Bahkan ironisnya, kekacauan, konflik dan bencana di tempat seakan tak ada pemimpinnya.
Saya memandang siapa pun yang menjadi pemimpin nanti, tetap tak banyak perubahan fundamental yang bisa didapatkan dari hasil kepemimpinannya. Kehidupan perekonomian keluarga tetap harus ditopang secara sendiri dan berdikari dengan banyak sekali upaya untuk meraihnya, kecuali bagi pegawai atau karyawan yang mendapatkan gaji, mungkin ada peningkatan penghasilan setiap tahunnya. Namun, untuk masyarakat miskin tetap saja miskin, meskipun banyak sekali kekurangan dalam mengatasi banyak sekali dilema keluarga ada dispensasi biaya untuk itu.
Berbicara wacana pemimpin dan kepemimpinan masa depan akrab kaitannya dengan kualitas sumber daya insan yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini, masih membutuhkan pemimpin yang besar lengan berkuasa di banyak sekali sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Ini selaras dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan nasional sebagai sebuah sistem dalam arti statik maupun arti dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan komponen bangsa secara hierrarkial (state leadership, political and entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan acara kepemimpinan yang berporos dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan jadinya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan pribadi/kelompok, bukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula kepemimpinan yang membiarkan hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan budaya korupsi, kongkalikong dan nepotisme. Kita butuh, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, serta memahami abjad dan kultur bangsa Indonesia.
Dalam periode reformasi ketika ini, pemimpin kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia masih sangat dibutuhkan, melalui pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dasar negara, yaitu Pancasila yang bersifat integratif. Oleh alasannya ialah itu, para pemimpin dan kader kepemimpinan masa depan harus merupakan bab integral dari kepemimpinan nasional integratif, yang mempunyai kriteria pokok, yaitu: Pertama, terciptanya interaksi atau keterpaduan yang serasi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Kedua, mempunyai ciri, sifat, prinsip, teknik, azas serta gaya dan jenis kepemimpinan yang handal, ibarat Sebelas Azas Kepemimpinan TNI. Ketiga, mempunyai seni administrasi kepemimpinan nasional yang tepat, sesuai situasi dan kondisi, serta kurun waktu yang dihadapi.
Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus mempunyai contoh pikir, contoh perilaku dan contoh tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan ialah seorang pemimpin yang diperlukan bisa mengubah kondisi ketika ini melalui proses untuk membuat kondisi yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan mewujudkan harapan nasional. Pemimpin akan sanggup melaksanakan fungsi kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta sanggup diandalkan. Seorang pemimpin harus mempunyai reputasi yang baik, memperlihatkan kinerja yang diakui, terutama dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan keberhasilannya mengatasi masalah-masalah yang kritikal dan membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan pribadi oleh masyarakat.
Pemimpin dalam konteks kepentingan negara dan bangsa bagi penyelenggaraan negara haruslah mempunyai nilai-nilai sebagai seorang negarawan, artinya warga negara yang mau dan bisa mengambil perilaku dan keputusan, demi kepentingan bangsa dan negara. Nilai-nilai kenegarawan itu tidak hanya dimiliki oleh seorang Kepala Negara, pejabat pemerintahan dan birokrasi/pejabat publik semata, tetapi harus dimiliki oleh setiap pribadi warga negara dan setiap elemen kemasyarakatan baik pengusaha, budayawan, pemimpin umat keagamaan, pemimpin kemasyarakatan, cendekiawan, olahragawan dan kaum muda ibarat para mahasiswa. Dalam konteks inilah bergotong-royong konsep "think globally dan act locally" (berpikir secara global dan bertindak secara lokal) ini sanggup diimplementasikan dalam menghadapi tantangan periode globalisasi ketika ini.
Oleh karenanya, pemimpin masa depan diperlukan bisa memahami visi Indonesia 2020 dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan higienis dalam penyelenggaraan negara dan melaksanakan sistem penyelenggaraan negara secara baik dan benar semoga kesejahteraan masyarakat sesuai harapan nasional dan tujuan nasional sanggup benar-benar diwujudkan, sehingga kepemimpinannya, sejalan dengan visi yang telah digariskan pemerintah, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh insan Indonesia yang sehat, mandiri, beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran aturan dan lingkungan, mempunyai pengetahuan dan teknologi, mempunyai semangat dan etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.
Itulah kiprah yang harus dilaksanakan pemimpin dan kepemimpinan masa depan di periode reformasi ini dalam mewujudkan terciptanya ketahanan dan stabilitas nasional dalam rangka mencapai harapan dan tujuan nasional. Oleh alasannya ialah itu, melihat selektivitas para calon pemimpin yang disodorkan media ketika ini, ibarat SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengkubuwono-X, Abdurrrahman Wahid, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso, Soetrisno Bachir, Rizal Ramli, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen, Yusuf Kalla, Fajroel Rachman, Rizal Malarangeng, dan lainnya, rasanya sosok pemimpin yang diperlukan masyarakat masih belum ada yang terbaik, dan bisa membawa perubahan. Kecuali masyarakat masih mempercayakan kepada pasangan SBY-JK dalam memimpin bangsa ini untuk kedua kalinya.
Mengapa ini saya utarakan? Karena pemimpin muda tidak menjamin kesejahteraan rakyat, pemimpin tegas juga tidak berjanji bisa menuntaskan perkara bangsa yang demikian kompleks. Yang masih dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini ialah pemimpin yang membawa kesejukan, pemimpin yang cakap, pemimpin yang arif dan pemimpin yang bijaksana dalam berpikir, bersikap dan bertindak untuk lebih menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat/rakyatnya, serta memajukan bangsa dan negaranya. Saya berpandangan, bertubi-tubinya perkara petaka beberapa tahun belakangan ini, mengakibatkan satu periode 2004-2009 bagi pemimpin dan kepemimpinan SBY-JK tidak berjalan secara optimal. Sepertinya kita perlu memperlihatkan satu periode 2009-2014 lagi untuk pemimpin dan kepemimpinan masa depan ini kepada pasangan SBY-JK, sehingga perubahan yang diimpikan dan diperlukan masyarakat/rakyat akan semakin nyata.
Kita butuh pemimpin yang memberi suri teladan ibarat kepemimpinan Nabi Besar Muhammad S.A.W yaitu Siddiq, jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan; Fathonah, cerdas, mempunyai intelektualitas tinggi dan profesional; Amanah, sanggup dipercaya, mempunyai legitimasi dan akuntabel; dan Tabligh, senantiasa memberikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.
Kita perlu pemimpin yang mempunyai kepemimpinan ibarat Hasta Brata, dan mempunyai sifat-sifat dinamis, berwibawa, berkonsultasi, bekerja sama, dan mandiri. Selama periode 2004-2009 kini ini, itu sudah tercermin pada kepemimpinan SBY-JK untuk mewujudkan Indonesia yang Adam (Aman dan Damai), Adem (Adil dan Demokrasi), dan Bahtera (Tambah Sejahtera) yang dikenal dengan istilah absurd Peace, Justice, Democracy dan Prosperity, serta mewujudkan Good Governance dan Clean Government.
Oleh : Fauzani Ilham
Seorang pemimpin kreatif dan inovatif selalu berpikir bahwa belum ada karya yang terbaik, alasannya ialah yang terbaik belum dilahirkan, yang terbaik akan diciptakan di masa depan, alasannya ialah itu ia selalu terobsesi untuk selalu memperbaiki karya-karyanya.
Menjelang Pemilu Presiden dan Wapres 2009, belakangan ini marak bermunculan anak bangsa yang memproklamirkan diri untuk menjadi pemimpin nasional masa depan. Ada yang terang-terangan mencalonkan diri lewat partai politk, ada yang melaksanakan komunikasi politik untuk minta restu, ada yang gencar menampilkan dirinya lewat media massa, ada yang berdebat lewat "the candidate", ada yang mencetuskan konvensi ibarat konvensi partai Golkar 2004, bahkan ada pula yang berani mengikrarkan diri melalui jalur independen.
Dalam periode demokrasi ketika ini, hal itu sah-sah saja dilakukan, sepanjang pencalonan, proklamir, ikrar dan perdebatan perkara pemimpin itu benar-benar bagi upaya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara. Selama sepuluh tahun reformasi bergulir, para pemimpin sudah mulai dipilih oleh rakyat melalui Pilkada baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi maupun tingkat nasional. Segala cara dilakukan semoga tujuan untuk menjadi pemimpin itu tercapai, sehingga tak heran kalau konflik horizontal terjadi di daerah, gara-gara penetapan pemimpin. Tapi apa yang kita lihat, sehabis menjadi pemimpin tak banyak perubahan konkret yang diperlukan oleh masyarakat. Bahkan ironisnya, kekacauan, konflik dan bencana di tempat seakan tak ada pemimpinnya.
Saya memandang siapa pun yang menjadi pemimpin nanti, tetap tak banyak perubahan fundamental yang bisa didapatkan dari hasil kepemimpinannya. Kehidupan perekonomian keluarga tetap harus ditopang secara sendiri dan berdikari dengan banyak sekali upaya untuk meraihnya, kecuali bagi pegawai atau karyawan yang mendapatkan gaji, mungkin ada peningkatan penghasilan setiap tahunnya. Namun, untuk masyarakat miskin tetap saja miskin, meskipun banyak sekali kekurangan dalam mengatasi banyak sekali dilema keluarga ada dispensasi biaya untuk itu.
Berbicara wacana pemimpin dan kepemimpinan masa depan akrab kaitannya dengan kualitas sumber daya insan yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini, masih membutuhkan pemimpin yang besar lengan berkuasa di banyak sekali sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Ini selaras dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan nasional sebagai sebuah sistem dalam arti statik maupun arti dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan komponen bangsa secara hierrarkial (state leadership, political and entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan acara kepemimpinan yang berporos dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan jadinya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan pribadi/kelompok, bukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula kepemimpinan yang membiarkan hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan budaya korupsi, kongkalikong dan nepotisme. Kita butuh, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, serta memahami abjad dan kultur bangsa Indonesia.
Dalam periode reformasi ketika ini, pemimpin kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia masih sangat dibutuhkan, melalui pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dasar negara, yaitu Pancasila yang bersifat integratif. Oleh alasannya ialah itu, para pemimpin dan kader kepemimpinan masa depan harus merupakan bab integral dari kepemimpinan nasional integratif, yang mempunyai kriteria pokok, yaitu: Pertama, terciptanya interaksi atau keterpaduan yang serasi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Kedua, mempunyai ciri, sifat, prinsip, teknik, azas serta gaya dan jenis kepemimpinan yang handal, ibarat Sebelas Azas Kepemimpinan TNI. Ketiga, mempunyai seni administrasi kepemimpinan nasional yang tepat, sesuai situasi dan kondisi, serta kurun waktu yang dihadapi.
Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus mempunyai contoh pikir, contoh perilaku dan contoh tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan ialah seorang pemimpin yang diperlukan bisa mengubah kondisi ketika ini melalui proses untuk membuat kondisi yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan mewujudkan harapan nasional. Pemimpin akan sanggup melaksanakan fungsi kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta sanggup diandalkan. Seorang pemimpin harus mempunyai reputasi yang baik, memperlihatkan kinerja yang diakui, terutama dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan keberhasilannya mengatasi masalah-masalah yang kritikal dan membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan pribadi oleh masyarakat.
Pemimpin dalam konteks kepentingan negara dan bangsa bagi penyelenggaraan negara haruslah mempunyai nilai-nilai sebagai seorang negarawan, artinya warga negara yang mau dan bisa mengambil perilaku dan keputusan, demi kepentingan bangsa dan negara. Nilai-nilai kenegarawan itu tidak hanya dimiliki oleh seorang Kepala Negara, pejabat pemerintahan dan birokrasi/pejabat publik semata, tetapi harus dimiliki oleh setiap pribadi warga negara dan setiap elemen kemasyarakatan baik pengusaha, budayawan, pemimpin umat keagamaan, pemimpin kemasyarakatan, cendekiawan, olahragawan dan kaum muda ibarat para mahasiswa. Dalam konteks inilah bergotong-royong konsep "think globally dan act locally" (berpikir secara global dan bertindak secara lokal) ini sanggup diimplementasikan dalam menghadapi tantangan periode globalisasi ketika ini.
Oleh karenanya, pemimpin masa depan diperlukan bisa memahami visi Indonesia 2020 dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan higienis dalam penyelenggaraan negara dan melaksanakan sistem penyelenggaraan negara secara baik dan benar semoga kesejahteraan masyarakat sesuai harapan nasional dan tujuan nasional sanggup benar-benar diwujudkan, sehingga kepemimpinannya, sejalan dengan visi yang telah digariskan pemerintah, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh insan Indonesia yang sehat, mandiri, beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran aturan dan lingkungan, mempunyai pengetahuan dan teknologi, mempunyai semangat dan etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.
Itulah kiprah yang harus dilaksanakan pemimpin dan kepemimpinan masa depan di periode reformasi ini dalam mewujudkan terciptanya ketahanan dan stabilitas nasional dalam rangka mencapai harapan dan tujuan nasional. Oleh alasannya ialah itu, melihat selektivitas para calon pemimpin yang disodorkan media ketika ini, ibarat SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengkubuwono-X, Abdurrrahman Wahid, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso, Soetrisno Bachir, Rizal Ramli, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen, Yusuf Kalla, Fajroel Rachman, Rizal Malarangeng, dan lainnya, rasanya sosok pemimpin yang diperlukan masyarakat masih belum ada yang terbaik, dan bisa membawa perubahan. Kecuali masyarakat masih mempercayakan kepada pasangan SBY-JK dalam memimpin bangsa ini untuk kedua kalinya.
Mengapa ini saya utarakan? Karena pemimpin muda tidak menjamin kesejahteraan rakyat, pemimpin tegas juga tidak berjanji bisa menuntaskan perkara bangsa yang demikian kompleks. Yang masih dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini ialah pemimpin yang membawa kesejukan, pemimpin yang cakap, pemimpin yang arif dan pemimpin yang bijaksana dalam berpikir, bersikap dan bertindak untuk lebih menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat/rakyatnya, serta memajukan bangsa dan negaranya. Saya berpandangan, bertubi-tubinya perkara petaka beberapa tahun belakangan ini, mengakibatkan satu periode 2004-2009 bagi pemimpin dan kepemimpinan SBY-JK tidak berjalan secara optimal. Sepertinya kita perlu memperlihatkan satu periode 2009-2014 lagi untuk pemimpin dan kepemimpinan masa depan ini kepada pasangan SBY-JK, sehingga perubahan yang diimpikan dan diperlukan masyarakat/rakyat akan semakin nyata.
Kita butuh pemimpin yang memberi suri teladan ibarat kepemimpinan Nabi Besar Muhammad S.A.W yaitu Siddiq, jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan; Fathonah, cerdas, mempunyai intelektualitas tinggi dan profesional; Amanah, sanggup dipercaya, mempunyai legitimasi dan akuntabel; dan Tabligh, senantiasa memberikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.
Kita perlu pemimpin yang mempunyai kepemimpinan ibarat Hasta Brata, dan mempunyai sifat-sifat dinamis, berwibawa, berkonsultasi, bekerja sama, dan mandiri. Selama periode 2004-2009 kini ini, itu sudah tercermin pada kepemimpinan SBY-JK untuk mewujudkan Indonesia yang Adam (Aman dan Damai), Adem (Adil dan Demokrasi), dan Bahtera (Tambah Sejahtera) yang dikenal dengan istilah absurd Peace, Justice, Democracy dan Prosperity, serta mewujudkan Good Governance dan Clean Government.
Menjelang Pemilu Presiden dan Wapres 2009, belakangan ini marak bermunculan anak bangsa yang memproklamirkan diri untuk menjadi pemimpin nasional masa depan. Ada yang terang-terangan mencalonkan diri lewat partai politk, ada yang melaksanakan komunikasi politik untuk minta restu, ada yang gencar menampilkan dirinya lewat media massa, ada yang berdebat lewat "the candidate", ada yang mencetuskan konvensi ibarat konvensi partai Golkar 2004, bahkan ada pula yang berani mengikrarkan diri melalui jalur independen.
Dalam periode demokrasi ketika ini, hal itu sah-sah saja dilakukan, sepanjang pencalonan, proklamir, ikrar dan perdebatan perkara pemimpin itu benar-benar bagi upaya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara. Selama sepuluh tahun reformasi bergulir, para pemimpin sudah mulai dipilih oleh rakyat melalui Pilkada baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi maupun tingkat nasional. Segala cara dilakukan semoga tujuan untuk menjadi pemimpin itu tercapai, sehingga tak heran kalau konflik horizontal terjadi di daerah, gara-gara penetapan pemimpin. Tapi apa yang kita lihat, sehabis menjadi pemimpin tak banyak perubahan konkret yang diperlukan oleh masyarakat. Bahkan ironisnya, kekacauan, konflik dan bencana di tempat seakan tak ada pemimpinnya.
Saya memandang siapa pun yang menjadi pemimpin nanti, tetap tak banyak perubahan fundamental yang bisa didapatkan dari hasil kepemimpinannya. Kehidupan perekonomian keluarga tetap harus ditopang secara sendiri dan berdikari dengan banyak sekali upaya untuk meraihnya, kecuali bagi pegawai atau karyawan yang mendapatkan gaji, mungkin ada peningkatan penghasilan setiap tahunnya. Namun, untuk masyarakat miskin tetap saja miskin, meskipun banyak sekali kekurangan dalam mengatasi banyak sekali dilema keluarga ada dispensasi biaya untuk itu.
Berbicara wacana pemimpin dan kepemimpinan masa depan akrab kaitannya dengan kualitas sumber daya insan yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini, masih membutuhkan pemimpin yang besar lengan berkuasa di banyak sekali sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Ini selaras dengan kerangka ideal normatif sistem kepemimpinan nasional sebagai sebuah sistem dalam arti statik maupun arti dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan komponen bangsa secara hierrarkial (state leadership, political and entrepreneural leadership and societal leadership) maupun pada tatanan komponen bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sementara itu, dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem kepemimpinan nasional ialah keseluruhan acara kepemimpinan yang berporos dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan jadinya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan pribadi/kelompok, bukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok, dan bukan pula kepemimpinan yang membiarkan hidupnya budaya anarkhisme, budaya kekerasan, dan budaya korupsi, kongkalikong dan nepotisme. Kita butuh, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, serta memahami abjad dan kultur bangsa Indonesia.
Dalam periode reformasi ketika ini, pemimpin kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan Indonesia masih sangat dibutuhkan, melalui pemahaman dan penghayatan nilai-nilai dasar negara, yaitu Pancasila yang bersifat integratif. Oleh alasannya ialah itu, para pemimpin dan kader kepemimpinan masa depan harus merupakan bab integral dari kepemimpinan nasional integratif, yang mempunyai kriteria pokok, yaitu: Pertama, terciptanya interaksi atau keterpaduan yang serasi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Kedua, mempunyai ciri, sifat, prinsip, teknik, azas serta gaya dan jenis kepemimpinan yang handal, ibarat Sebelas Azas Kepemimpinan TNI. Ketiga, mempunyai seni administrasi kepemimpinan nasional yang tepat, sesuai situasi dan kondisi, serta kurun waktu yang dihadapi.
Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus mempunyai contoh pikir, contoh perilaku dan contoh tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan ialah seorang pemimpin yang diperlukan bisa mengubah kondisi ketika ini melalui proses untuk membuat kondisi yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan mewujudkan harapan nasional. Pemimpin akan sanggup melaksanakan fungsi kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta sanggup diandalkan. Seorang pemimpin harus mempunyai reputasi yang baik, memperlihatkan kinerja yang diakui, terutama dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan keberhasilannya mengatasi masalah-masalah yang kritikal dan membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan pribadi oleh masyarakat.
Pemimpin dalam konteks kepentingan negara dan bangsa bagi penyelenggaraan negara haruslah mempunyai nilai-nilai sebagai seorang negarawan, artinya warga negara yang mau dan bisa mengambil perilaku dan keputusan, demi kepentingan bangsa dan negara. Nilai-nilai kenegarawan itu tidak hanya dimiliki oleh seorang Kepala Negara, pejabat pemerintahan dan birokrasi/pejabat publik semata, tetapi harus dimiliki oleh setiap pribadi warga negara dan setiap elemen kemasyarakatan baik pengusaha, budayawan, pemimpin umat keagamaan, pemimpin kemasyarakatan, cendekiawan, olahragawan dan kaum muda ibarat para mahasiswa. Dalam konteks inilah bergotong-royong konsep "think globally dan act locally" (berpikir secara global dan bertindak secara lokal) ini sanggup diimplementasikan dalam menghadapi tantangan periode globalisasi ketika ini.
Oleh karenanya, pemimpin masa depan diperlukan bisa memahami visi Indonesia 2020 dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan higienis dalam penyelenggaraan negara dan melaksanakan sistem penyelenggaraan negara secara baik dan benar semoga kesejahteraan masyarakat sesuai harapan nasional dan tujuan nasional sanggup benar-benar diwujudkan, sehingga kepemimpinannya, sejalan dengan visi yang telah digariskan pemerintah, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh insan Indonesia yang sehat, mandiri, beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran aturan dan lingkungan, mempunyai pengetahuan dan teknologi, mempunyai semangat dan etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.
Itulah kiprah yang harus dilaksanakan pemimpin dan kepemimpinan masa depan di periode reformasi ini dalam mewujudkan terciptanya ketahanan dan stabilitas nasional dalam rangka mencapai harapan dan tujuan nasional. Oleh alasannya ialah itu, melihat selektivitas para calon pemimpin yang disodorkan media ketika ini, ibarat SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengkubuwono-X, Abdurrrahman Wahid, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso, Soetrisno Bachir, Rizal Ramli, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen, Yusuf Kalla, Fajroel Rachman, Rizal Malarangeng, dan lainnya, rasanya sosok pemimpin yang diperlukan masyarakat masih belum ada yang terbaik, dan bisa membawa perubahan. Kecuali masyarakat masih mempercayakan kepada pasangan SBY-JK dalam memimpin bangsa ini untuk kedua kalinya.
Mengapa ini saya utarakan? Karena pemimpin muda tidak menjamin kesejahteraan rakyat, pemimpin tegas juga tidak berjanji bisa menuntaskan perkara bangsa yang demikian kompleks. Yang masih dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini ialah pemimpin yang membawa kesejukan, pemimpin yang cakap, pemimpin yang arif dan pemimpin yang bijaksana dalam berpikir, bersikap dan bertindak untuk lebih menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat/rakyatnya, serta memajukan bangsa dan negaranya. Saya berpandangan, bertubi-tubinya perkara petaka beberapa tahun belakangan ini, mengakibatkan satu periode 2004-2009 bagi pemimpin dan kepemimpinan SBY-JK tidak berjalan secara optimal. Sepertinya kita perlu memperlihatkan satu periode 2009-2014 lagi untuk pemimpin dan kepemimpinan masa depan ini kepada pasangan SBY-JK, sehingga perubahan yang diimpikan dan diperlukan masyarakat/rakyat akan semakin nyata.
Kita butuh pemimpin yang memberi suri teladan ibarat kepemimpinan Nabi Besar Muhammad S.A.W yaitu Siddiq, jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan; Fathonah, cerdas, mempunyai intelektualitas tinggi dan profesional; Amanah, sanggup dipercaya, mempunyai legitimasi dan akuntabel; dan Tabligh, senantiasa memberikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.
Kita perlu pemimpin yang mempunyai kepemimpinan ibarat Hasta Brata, dan mempunyai sifat-sifat dinamis, berwibawa, berkonsultasi, bekerja sama, dan mandiri. Selama periode 2004-2009 kini ini, itu sudah tercermin pada kepemimpinan SBY-JK untuk mewujudkan Indonesia yang Adam (Aman dan Damai), Adem (Adil dan Demokrasi), dan Bahtera (Tambah Sejahtera) yang dikenal dengan istilah absurd Peace, Justice, Democracy dan Prosperity, serta mewujudkan Good Governance dan Clean Government.
Advertisement