PLURALISME SEBAGAI LANDASAN KEPEMIMPINAN
Tak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku atau sub-suku ibarat Aceh, Gayo, Barus, Batak, Minang, Melayu, Palembang, Lampung, Sunda, Jawa, Bali, Sasak, Banjar, Dayak, Bugis, Toraja, Manado, Ambon, dan Papua. Banyak pula sub-suku pedalaman ibarat Anak Dalam, Baduy, Tengger, serta sub-suku pedalaman Papua.
Ada sekitar 583 bahasa kawasan yang mereka gunakan sebagai alat komunikasinya. Tak hanya itu, banyak sekali suku dan sub-suku itu ada juga yang masih menjalankan ibadah atau ritual yang sesuai kepercayaannya yang secara bebuyutan diwariskan. Realitas itu pun bersentuhan, beradaptasi, dan berasimilasi dengan datangnya banyak sekali aliran agama besar ibarat Hindu, Buddha, Islam, Protestan, dan Katolik.
Etnis pun tak hanya Melayu, tetapi juga ada Tionghoa, India, Arab, dan Eropa. Seiring dengan meningkatnya perdagangan dan ekonomi global, interaksi antar kebudayaan pun tak terelakkan. Beraneka pikiran mengenai liberalisme, demokrasi, sosialisme dan marxisme, libertarianisme, nasionalisme, humanisme dan hak-hak asasi insan mengiringinya. Interaksi itu tak dapat diartikan bahwa sepenuhnya kandungan pikiran-pikiran ini bersumber dari Barat.
Tantangan bersama yang kita hadapi ialah bagaimana membuatkan pluralisme Indonesia dalam konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Karena pluralisme ialah sebuah fakta atas Indonesia dikala ini.
Sementara dalam terminologi Islam, fungsi kepemimpinan berdasarkan perspektif aliran Islam, yaitu sebagai ulil amri dan khadimul ummah. Pemimpin yang memahami makna ulil amri akan mempunyai kesadaran bahwa amanah jabatan dan kekuasaan harus dipakai sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia akan berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, meskipun Islam ialah agama dominan di Indonesia, tetapi jangan hingga bahwa kepemimpinan dari umat Islam di Indonesia mengkibatkan, negara lebih banyak melayani kepentingan segelintir orang yang menguasai aparatur negara. Sementara mereka yang berusaha menyuarakan ide-ide demokratisasi, pluralisme, dan sumbangan hak-hak asasi insan cenderung dituding tak mempunyai nasionalismenya.
Hal ini penting untuk ditekankan, mengingat identitas nasional tidaklah ditentukan oleh eksistensi seseorang atau sekelompok orang dalam pegawanegeri negara. Ia sangat bergantung pada relasinya untuk memajukan orang banyak bukan saja dalam menghormati eksistensi golongan-golongan, melancarkan kritik atas banyak sekali praktik penyelewengan kekuasaan dan sumbangan hak-hak asasi manusia, tetapi menyuarakan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Tak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku atau sub-suku ibarat Aceh, Gayo, Barus, Batak, Minang, Melayu, Palembang, Lampung, Sunda, Jawa, Bali, Sasak, Banjar, Dayak, Bugis, Toraja, Manado, Ambon, dan Papua. Banyak pula sub-suku pedalaman ibarat Anak Dalam, Baduy, Tengger, serta sub-suku pedalaman Papua.
Ada sekitar 583 bahasa kawasan yang mereka gunakan sebagai alat komunikasinya. Tak hanya itu, banyak sekali suku dan sub-suku itu ada juga yang masih menjalankan ibadah atau ritual yang sesuai kepercayaannya yang secara bebuyutan diwariskan. Realitas itu pun bersentuhan, beradaptasi, dan berasimilasi dengan datangnya banyak sekali aliran agama besar ibarat Hindu, Buddha, Islam, Protestan, dan Katolik.
Etnis pun tak hanya Melayu, tetapi juga ada Tionghoa, India, Arab, dan Eropa. Seiring dengan meningkatnya perdagangan dan ekonomi global, interaksi antar kebudayaan pun tak terelakkan. Beraneka pikiran mengenai liberalisme, demokrasi, sosialisme dan marxisme, libertarianisme, nasionalisme, humanisme dan hak-hak asasi insan mengiringinya. Interaksi itu tak dapat diartikan bahwa sepenuhnya kandungan pikiran-pikiran ini bersumber dari Barat.
Tantangan bersama yang kita hadapi ialah bagaimana membuatkan pluralisme Indonesia dalam konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Karena pluralisme ialah sebuah fakta atas Indonesia dikala ini.
Sementara dalam terminologi Islam, fungsi kepemimpinan berdasarkan perspektif aliran Islam, yaitu sebagai ulil amri dan khadimul ummah. Pemimpin yang memahami makna ulil amri akan mempunyai kesadaran bahwa amanah jabatan dan kekuasaan harus dipakai sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia akan berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, meskipun Islam ialah agama dominan di Indonesia, tetapi jangan hingga bahwa kepemimpinan dari umat Islam di Indonesia mengkibatkan, negara lebih banyak melayani kepentingan segelintir orang yang menguasai aparatur negara. Sementara mereka yang berusaha menyuarakan ide-ide demokratisasi, pluralisme, dan sumbangan hak-hak asasi insan cenderung dituding tak mempunyai nasionalismenya.
Hal ini penting untuk ditekankan, mengingat identitas nasional tidaklah ditentukan oleh eksistensi seseorang atau sekelompok orang dalam pegawanegeri negara. Ia sangat bergantung pada relasinya untuk memajukan orang banyak bukan saja dalam menghormati eksistensi golongan-golongan, melancarkan kritik atas banyak sekali praktik penyelewengan kekuasaan dan sumbangan hak-hak asasi manusia, tetapi menyuarakan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Advertisement